Dear Gen Z, Kamu Tidak Bisa Ber-Manja! Negara Nggak Akan Selalu Menolongmu! Saatnya Tahan Uji, Bukan Hanya Tampil Estetik

Generasi Z memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin masa depan. Tapi potensi itu tidak akan berarti tanpa ketekunan. Di tengah kondisi negara yang belum mampu memberi kenyamanan penuh, ketekunan adalah modal utama.

Pixabay/MolnarSzabolcsErdely

EVENT LAMPUNG
- Era digital telah melahirkan generasi paling melek teknologi sepanjang sejarah. Mereka sangat mudah dalam mendapat informasi, tak hanya itu, mereka juga penuh dengan fasilitas.

Mereka yang dimaksud adalah generasi Z—anak-anak yang tumbuh bersama layar sentuh, medsos, dan koneksi internet tanpa batas. Namun, dalam dunia kerja nyata, generasi ini justru sering mendapat label kurang tekun, gampang bosan, dan mudah menyerah.

Fenomena ini bukan sekadar asumsi. Dalam beberapa survei dan pengamatan lapangan, para pelaku HRD dan pengusaha kerap mengeluhkan perilaku kerja Gen Z yang dinilai kurang tahan banting. Data dari LinkedIn tahun 2024 menunjukkan bahwa Gen Z memiliki tingkat turnover pekerjaan tertinggi dibanding generasi lainnya, dengan rerata masa kerja hanya 1,2 tahun.

Waduh, gimana nih?????

Lalu, mengapa ini bisa terjadi?

Budaya Instan Vs Realita Ekonomi

Gen Z lahir di tengah kemudahan. Segalanya serba cepat, serba ada. Tapi sayangnya, dunia kerja dan kondisi negara belum bisa secepat dan semudah itu. Indonesia masih berjuang menghadapi tantangan ekonomi pasca pandemi, ketimpangan sosial, dan angka pengangguran yang belum sepenuhnya membaik.

Menurut data BPS tahun 2024, tingkat pengangguran terbuka di usia muda (15-24 tahun) masih mendominasi dengan angka 18,34%. Ini menandakan bahwa peluang kerja ada, tapi belum seluruhnya terserap atau sesuai ekspektasi generasi muda.

Dalam situasi seperti ini, tekun bekerja bukan lagi sekadar pilihan, tapi kebutuhan.

Negara Belum Bisa Memanjakan

Mungkin ini terdengar pahit, tapi realistis: Indonesia bukan negara yang bisa memberi jaminan penuh untuk setiap warganya. Masih banyak masyarakat yang harus berjuang dari nol, tanpa bantuan. Jangankan fasilitas kerja nyaman, beberapa daerah bahkan masih kesulitan mengakses listrik dan internet stabil.

Alih-alih menunggu perubahan dari atas, generasi muda—terutama Gen Z—harus membangun daya tahan dari bawah. “Kalau bukan kita yang menyesuaikan diri, siapa lagi?” ujar Yudi Latif, pengamat sosial, dalam salah satu diskusi publik mengenai ketenagakerjaan muda.

Tekun Itu Keren, Bukan Kuno

Di tengah budaya “cari yang cepat dan enak”, ketekunan sering dianggap jadul. Padahal, justru ketekunan adalah kunci untuk bertahan dan tumbuh. Banyak tokoh sukses Indonesia seperti Najwa Shihab, Gibran Rakabuming, hingga Jerome Polin meniti karier dari kerja keras bertahun-tahun. Mereka tidak tiba-tiba sukses, tapi bertahap dan konsisten.

Sebuah studi dari American Psychological Association juga menyatakan bahwa ketekunan (grit) adalah faktor penting dalam keberhasilan karier jangka panjang, bahkan lebih dari IQ atau bakat.

Dunia Tidak Sempurna, Tapi Bisa Ditaklukkan

Generasi Z harus sadar bahwa dunia kerja tidak akan selalu ideal. Ada atasan yang tidak suportif, gaji yang belum sepadan, dan sistem kerja yang tidak fleksibel. Tapi justru di situlah karakter diuji.

Daripada pindah kerja hanya karena tidak cocok dengan jam kerja, atau resign karena tugas terlalu menantang, mengapa tidak mencoba bertahan dan menyelesaikannya?

Bukan berarti Gen Z harus mengorbankan kesehatan mental atau terus-menerus menerima perlakuan yang tidak adil. Tapi, sebelum menyerah, cobalah bertahan. Sebelum mengeluh, cobalah belajar. Sebelum menuntut, cobalah berkontribusi.

Bekerja dengan sungguh-sungguh bukan berarti menyerah pada sistem, tapi membuktikan bahwa generasi muda siap memimpin dengan karakter dan konsistensi.

Karena hidup bukan hanya tentang siapa yang cepat, tapi siapa yang bertahan.

Previous Post Next Post